Google Translete

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Perhatian :

“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka.” (HR Muslim no. 2674).

Senin, 13 Juni 2011

Maulid Dan Isra Mi'raj

Rijal
Pertanyaan:
Assalamualaikum. Perayaan maulid nabi dan isra mi‘raj menjadi kontroversial yang panjang, sepengetahuan kami ulama-ulama yang percaya cenderung menganggap bidah, meski untuk menyikapi kejadian di lapangan kita sepakat untuk berhati-berhati masalahnya batasan kehati2an kadang-kadang terlalu longgar, masih banyak aktivis dakwah yang menyelenggarakan walau dalam keadaan tidak terpaksa, sungguh lebih afdhol kita meninggalkannya, dalam hal ini saya sangat kecewa dengan rekan-rekan sesama aktivis, mohon komentar/taujih ustad. Wassalam.
Jawaban:
Assalamu‘alaikum Wr. Wb. Islam mempunyai dua hari raya yang besifat formal dan punya landasan syar‘i yang pasti (tsabit), yaitu Hari Raya Idul Fithri dan Idul Adha. Selain keduanya, pada dasarnya Islam tidak memberikan legitimasi formal untuk mengadakan dan memperingati hari raya. Sehingga bila saat ini kita mendapati sebagian umat Islam mengadakan peringatan hari raya selain yang dua tersebut, maka bisa kita pastikan bahwa dasar hukum yang tegas dan eksplisit baik dalam Al-quran mapun Al-Hadits tidak pernah ditemukan. Karena memang kenyataannya, di masa Rasulullah SAW, para shahabat dan juga tabi‘in hingga beberapa generasi sesudahnya, tidak pernah mengadakan perayaan hari raya secara ritual formal kecuali Idul Fitrhi dan Idul Adha saja.
Peringatan Maulid atau kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai contoh, baru diadakan paling tidak pada abad ketiga hijriyah. Artinya setelah generasi Rasulullah SAW meninggal selama 300-an tahun lamanya barulah perayaan itu muncul pertama kali. Dalam kitab Ianatutalibin jilid 3 halaman 363 disebutkan bahwa orang yang pertama kali mengadakan perayaan maulid nabi adalah Raja Al-Muzaffar Qutz. Diriwayatkan bahwa untuk menyatukan barisan umat Islam dalam menghadapi tekanan musuhnya, sang raja membutuhkan sebuah momentum untuk menyemangati rakyat. Momentum itu adalah peringatan hari lahir Rasulullah SAW, dimana di dalam momentum itu rakyat dibakar emosi dan ghirah Islamnya dengan dibacakannya sejarah kelahiran Nabi SAW.
Nampaknya strategi ini lumayan berhasil, buktinya dalam waktu singkat, sang penguasa berhasil membakar semangat juang rakyat dan berhasil mematahkan pertahanan lawan. Namun oleh sebagian umat ini, peringatan maulid ini dipertahankan setiap tahun lengkap dengan pembacaan sejarah kelahiran nabi. Meski momentumnya sudah tidak membutuhkan semacam perhelatan ini lagi. Justru disinilah nampaknya letak titik masalahnya, yaitu apakah kita dibenarkan untuk mengadakan peringatan maulid ini setiap tahunnya sehingga seolah-olah menjadi sebuah ritual dan seremoni tersendiri yang sejajar dengan ibadah mahdhah lainnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu sebaiknya dihindari, karena akan melahirkan kesalah-mengertian pada generasi berikutnya. Dimana bisa saja pada generasi tertentu peringatan maulid ini menjadi sebuah ritual ibadah mahdhah yang baru dan diada-adakan. Padahal Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkannya. Namun ada juga ulama yang melihat dari sisi realitas manfaat dan masih memberikan kelonggaran untuk tetap diadakannya maudlid ini. Asal dengan syarat tertentu dan tidak keluar dari garis-garis syariat Islam. Sedangkan buat para aktifis dakwah, sebaiknya kebijakan untuk mengadakan atau terlibat dalam acara peringatan maulid ini dimusyawarahkan dan dibicarakan secara hati-hati dan melibatkan banyak pihak. Terutama para pakar syariah, juru dakwah dan juga tokoh masyarakat. Semua sisi harus ditimbang manfaat dan madharatnya sesuai dengan kondisi masyarakat. Syuro ini menjadi penting karena di dalamnya bisa terlihat kemungkinan mana yang paling baik. Dan juga menyatukan visi gerakan dakwah dalam satu langkah bersama agar tidak terjadi pembicaraan yang tidak produktif bahkan saling curiga dan saling kritik.
Satu hal yang paling penting untuk dicatat bahwa kondisi dakwah di setiap tempat pasti berbeda. Karena tiap tempat punya latar belakang mazhab, tokoh agama, opini dan budaya yang berbeda. Sehingga untuk membuat kebijakan yang bersifat sentralistik dan menasional nampaknya bukan hal yang bijaksana. Yang baik adalah bahwa tiap aktifits dakwah di masing-masing wilayahnya adalah orang yang paling paham dengan karakteristik masyarakatnya. Biarlah mereka bermusyarah untuk menentukan sikap terhapap ritual-ritual itu.
Wallahu a‘lam bishshowab. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
sumber:http://www.syariahonline.com/v2/aqidah/maulid-dan-isra-miraj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Paling Populer

Source : http://adibey.blogspot.com/2010/07/cara-membuat-recent-comment-di-blog.html#ixzz1Qa830wmG